Pagi ini aku terbangun dalam gelap yang masih menyelimuti pagi yang bertahtakan embun dan kabut dalam sorak anak ayam yang sudah bersiap mencari makan. Seperti biasanya, aku segera menuju jamban dan membasuh muka untuk segera bertemu Illahi yang selalu setia menemaniku dalam setiap langkah dan deru nafas tak sadarku. Seperti biasa pula Mak telah lebih dahulu terbangun dan sedang mempersiapkan makan, bagi
kami anak-anaknya. Mak, sosoknya yang tak pernah tergantikan, ia adalah sosok wanita yang pertama kali memberiku cinta dalam buayannya. Yang tak pernah lelah menjaga ananknya, dan tetap berada di samping anaknya, meski kondisiku sedang sangat buruk dalam citra seorang anak.
“Cepat makan dulu Lif! Nanti kau terlambat”, Mak selalu menyapaku dengan kelembutannya.
Aku hanya mampu mengangguk dan segera menikmati atas rejeki yang masih menaungi keluarga kami. Bapa yang hanya seorang pegawai negeri yang berpenghasilan cukup untuk menghidupi tiga anak danisterinya mengajarkan kami untuk berhemat, meski sebenarnya bisa saja kami hidup so mewah dengan menggadai SK yang bapak miliki.
Bapak, sosok yang sulit ku tebak, ia jarang berkomentar atas tingkahku yang sering tidak karuan, entah karena Bapak sudah cukup bahagia memiliki Abangku yang dinilai lebih berprestasi di banding aku, karena aku yang tetap di cap nakal di kalangan tetangga dan masyarakat, tidak terlalu menjadi hal yang memusingkannya, sepertinya, itu hanya tebakanku saja, kami jarang bertegur sapa, rasanya setiap kali berhadapan dengan bapak, aku seolah kehabisan akal untuk memulai pembicaran di tengah situasi dingin yang menyelimuti dalam hubungan kami antara Bapak dan anak.
Setelah subuh menghilang mentari mulai menampakkan geliatnya dalam gagah yang tak pernah lepas dari megahnya sang penerang galaksi bima sakti. Segera setelah sarapan aku kayuh sepeda menuju sekolahku yang berjarak beberapa kilometer saja dari rumah. Masih ada sepercik rasa takut untuk melanggar aturan sekolah, maklumlah, masa orienrasi siswa baru di sekolah baru saja usai, belum ada niatan dalam hatiku untuk segera melanggar peraturan, karena tahun ini aku kembali mengulang duduk di kelas X SMA setelah sedikit melakukan aksi dan menyusahakan orang tua untuk berpindah sekolah. Niatku untuk merubah statusku di masayarakat yang telah di cap nakal meski pada kenyataannya mereka tidak tahu siapa aku dan bagaimanakan aku sebenarnya, itulah penyakit masyarakat yang mengelilingiku dalam proses tumbuh kembang ini, mereka merupakan masyarakat yang akan sangat berbahagia membuat gosip ini itu tentang diriku, tentunya tidak ada yang menceritakan kebaikan ku.
Pukul tujuh tepat sekolah telah ramai dan di sesaki seluruh siswa, hari pertama upacara bendera bersama siswa baru, menyebabkan seluruh mata tertuju pada kami sebagai siswa baru. Sepertinya tidak ada yang menarik perhatianku, upacara bendera merupakan ceremonial biasa yang di lakukan siswa tanpa dimaknai apapun dan oleh perasaan apapun selain kesal karena peluh telah membasahi kemeja putihku.
Dalam upacara pengumuman terakhir dari para guru adalah pembagian kelas, namaku disebutkan berada dalam kelompok siswa kelas X-6. Segera setelah upacara di bubarkan para siswa menghambur bagai semut yang sibuk mencari gula. Telah kudapatkan kelas dan bangku untuk duduk. Dalam lingkungan sekolah ini, aku cukup dikenal oleh kalangan siswa, selain banyak teman seangkatanku yang kini menjadi kakak kelas, dan yang dahulu menjadi adik kelas kini menjadi rekanku dalam tingkatan yang sama.
Harmoni, ku namai segera rasa yang tiba-tiba menyeruak dalam asa yang terjadi di relung hati yang tidak ku ketahui pasti dimana letak keberadaanya. Indah namanya. Tidak sulit buatku mengetahui nama seorang anak perempuan itu, gayaku yang terlihat percaya diri sangat memudahkanku bergaul dalam lingkungan baru ini.
Indah, rupanya seindah namanya, bulu matanya lentik, wajahnya yang tirus dan sorot mata yang tajam, badannya tinggi semampai, rambut panjang menghiasai kepalanya bak mahkota, senyum yang tersungging dari mulutnya yang mungil membuatku tak mudah melupakan kesan pertamaku saat menatapnya. Indah seolah sebuah keniscayaan dari namanya. Indah juga mudah bergaul, sehingga tak sulit bagiku dan dia menjalin hubungan pertemanan bahkan sejak menjadi calon siswa dalam masa orientasi siswa baru silam.
Keriuhan hiruk pikuk kelas yang tak pernah henti menghisai sudut ruang telah kembali melemparkanku pada dunia bosan. Jika di hitung belum genap satu bulan aku menapaki dunia sekolah baru ku. Beruntungnya aku, rekan sebangku ku selalu dapat memahamiku, tidak ada perasaan apaun aku padanya, karena sungguh niatku berteman bersama Lili. Ya namanya Lili, ia sangat baik, dan terlalu baik, sehingga tak jarang PRku telah selesai ia kerjakan, berbagai tugas pengisian LKS tanpa aku minta selalu Lili kerjakan, ia anak yang cantik, tentunya baik. Dan selentingan terdengar bahwa ia menaruh hati padaku, tapi tak mudah bagiku merubah perasaanku padanya yang terlanjur kagum sebagai sosok teman dan harus berubah menjadi orang spesial. Ah tidak, lagi pula aku memliki Indah tetap sangat indah menemaniku dalam hening sebagai teman sunyiku.
Kedekatanku dengan Indah sudah semakin menjadi, kami sering bermain bersama selepas pulang sekolah di akhir pekan. Namun, tiba-tiba Indah telah menjalin hubungan dengan salah satu ketua ekskul di sekolahku, mengetahui hal ini, segera ku jadikan Lili sebagai gandengan resmi ku kali ini. Terjadi banyak pergolakan dalam jalinan kisah kasih kami masing-masing. Tak lama, Indah talah putus. Bukan sebab karana Indah, akupun segera mengakhiri jalinanku bersama Lili, bahkan aku cukup terkejut dengan kenyataan bahwa Lili termasuk salah satu siswi yang lincah gonta-ganti pacar, malu, tapi ini kenyataannya, lupakan dan tinggalkan saja, aku kini kembali melirik Indah.
Satu sore dalam sayup mentari yang hendak beranjak ke peraduannya, aku curhat pada salah seorang kawan dekatku, ku ceritakan bahwa aku sedang naksir berat pada salah seorang siswi, kini kami sudah beranjak ke kelas XI, letak kelasku dan kelasnya bersebelahan. Segalanya ku ceritakan pada Dul, Dul yang mengannapinya hanya dengan mengangguk seolah mengerti apa yang aku fikirkan. Tanpa di sengaja, perbincangan curhat kami terdengar oleh Frans, dan baru ku ketahui saat itu pula, bahwa Frans dan Indah adalah sanak famili yang tidak terlampau jauh dalam ikatan pohon keluarga.
Akhirnya setelah semua isi hati ku ungkapkan pada kawan-kawan yang sudah kuanggap bagai keluarga sendiri, mereka bersepakat untuk membantuku, mereka bersedia menjadi Comblang dalam tekadku.
Lama waktu berselang setelah perbincangan ku tempo hari. Kini aku mulai berulah kembali, aku tak pulang ke rumah, berbulan-bulan aku menginap di rumah kawanan satu gengku, saat pulang ke rumah, rasanya seperti baru saja pulang dari rantau. Situasai hatiku kini sangat jelas, bahwa aku patah hati. Patah hati karena di khianati, patah hati karena Indah tak dapat aku miliki, patah hati karena aku tak berdaya bahkan hanya untuk sekedar menyatakan cintaku pada Indah, Indah yang kini hanya dapat menari-nari dalam khayal, Indah yang kini telah melingkarkan tangannya pada Frans, ya sodara jauhnya. Ngilu, pilu dan segala yang berbau rasa sakit bersarang nyaman dalam hatiku. Kini aku berubah menjadi sedikit melankolis, menjadi tak terlalu peduli pada diriku sendiri. Kehilangan Indah, serasa kehilangan sesuatu yang selama ini aku genggam erat namun dengan mudah terlepas, jatuh dan pecah. Aku bahkan tak kuasa meski untuk sekedar menghancurkan hubungan Frans sahabatku dengan Indah sang pujaan hatiku. Aku bagai kesatria kehilangan pedang, bagai penyair kehilangan kata, aku kini lemah, lunglai, hatiku sakit.
Tiga tahun berlalu sejak rasa sakitku bersarang dalam raga yang mulai lupa bagaimana rasanya mencinta. Meski hubunganku dan Frans bisa berangsur membaik tapi rasaku masih ada. Aku marah atas penghianatan kawanku, aku sakit atas kehilangan Indah-ku, dan akupun belajar pada sebuah perisai kehidupan, bahwa aku harus dapat ikhlas. Entah dapat terwakili atau tidak bahwa aku sudah memaafkan penghianatan kawanku, tapi aku tak dapat melupakan rasa kehilanganku. Tak terbersit sedikitpun dalam benakku untuk merusak jalinan kisah kasih mereka kini, bahkan sepercik do’a ku panjatkan pada sang maha pencinta, ‘Mohon persatukan Indahku dengan lelaki yang telah ia pilih sejak lama, persatukan tali kasih mereka dalam tirai suci yang Engkau Ridhoi. Buat aku lupa akan angan yang membungbung tinggi, karena aku yakin Tuahanku, Engkau tak pernah tinggalkan aku dalam sebuah keterpurukan, Engkau tak akan menjerumuskan aku, dan yang sangat aku yakini, bahwa Engkau telah persiapkan seseorang dalam kehidupan dunia ini untuk aku miliki, untuk tempatku berbagi kasih, untuk aku merajut cinta yang hakiki, meski tidak kini, aku yakin nanti, suatu sat nanti dan saat ini skenario kehidupanku telah engkau sunting dan lakonku telah aku mainkan. Tuhanku, terimakasih atas kehidupanku dan cinta dari keluargaku, terimaksih atas CintaMu.’ Kulipat sajadah, ku lihat jarum jam menunjukkan angka dua, dalam gelap aku tercenung dan baru kusadari bahwa aku kini sedang berada di sebuah tempat yang sangat terpencil namun selalu ku impikan. Tak ku sangka, bahwa jalan hidupku telah membawaku ke sebuah tempat nun jauh dari kampung halamanku, artefak-artefak kehidupanku. Dari kepulauan Raja Ampat, aku tumpukkan rasa rindu pada Mak, Bapak, Abang dan Ade. Menabungkan sejuta harap agar aku dapat memberikan yang terbaik untuk keluargaku, jiwa pertama dalam hidupku. Mak, aku merindukanmu.
Terinspirasi oleh
Andiansyah Van Tjime Honk
Sukabumi, 6 Juli 2010 (11:04 PM)
nensiku^^